Peluang Usaha

Pergulatan Hidup

on Sunday, October 31, 2010

Kehidupan telah mengantarkan manusia untuk berkreasi dengan dunianya। Kesenangan pergulatan dalam kemanusiaan menjadikan sang waktu sekedar teman. Padahal, sang waktu tidaklah sekedar teman, melainkan sahabat, mentor dan maha guru kehidupan ini.Bukankah Tuhan pun bersumpah atas nama sang waktu! Hidup telah dimulai tatkala manusia hadir ke dunia dengan tangisan, rintihan, jeritan dan kebahagiaan yang telah dinantikan manusia lain. Pergulatan sang bayi yang beriringan dengan waktu menjadikannya mendapatkan julukan anak-anak. Bermain dan belajar adalah tugas yang dibebankan kepadanya. Sang waktu terus mengantarkan anak-anak ini ke dalam dunia remaja yang mulai mencari jati dirinya dengan menunjukkan eksistensinya untuk mendapatkan pengakuan dari pihak lainnya. Kesenangan adalah temannya, percintaan adalah petualangannya, kesedihan adalah musuhnya. Tibalah sang waktu mengubah remaja ini menjadi dewasa yang siap menerima realitas kehidupan. Kehidupannya dimulai saat ada tugas yang memang harus diselkesaikan bersama orang lain sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai kholifah di muka bumi. Mencari penghidupan dan teman pendamping setia merupakan bagian utama di dalamnya, selain memiliki tugas kemasyarakatan. Sang waktu kembali mengisyaratkan kepada manusia ini untuk segera bersiap-siap menyelesaikan tugasnya. Seperti kata Paulo Culho dalam Al Kemisnya, tanda zaman telah diberikan dengan datangnya sang keriput, rambut beruban, dan mata rabun. Saatnya kata bijak untuk lebih dekat dengan sang pencipta menjadi perhatian utama. Namun, dalam proses yang begini linear yang sifatnya rutin ini, menjadi tantangan terbesar bagi manusia untuk mengupayakan kreasi dan aktualisasi dari dirinya. Tuhan memberikan ruang dan waktu untuk berkreasi. Namun, kemalasanlah yang menjadi pilihan. Akhirnya, hidup hanya sekedar hidup bahkan harus meminta kehidupan kepada orang lain demi sebuah kehidupan. Hidup memang terlalu sederhana untuk disederhanakan.

Empat Cara Mengatasi Ketidakberdayaan

on Saturday, October 30, 2010



Ketika diri kita mengalami ketidakberdayaan, betapa menyakitkannya. Namun sebagian besar di antara kita hanya bisa termangu dan menunggu tak berbuat apapun untuk bisa keluar dari rasa ketidakberdayaan tersebut. Tidakkah kita sayang terhadap waktu dan kesempatan yang diberikan oleh Allah atas hidup kita di dunia ini yang sangat singkat. Bahkan dalam terminologi orang Jawa diibaratkan bahwa hidup seperti halnya mampir ngomber (mampir minum ). Bagaimana kita bisa menyikapi dan keluar dari kondisi yang seperti ini.
Seperti  halnya yang dialami Agus, seorang karyawan salah satu perusahaan swasta di Semarang. Hari-harinya terasa menjemukan. Betapa tidak? Dia merasa bekerja pada  bagian yang bukan merupakan bidang dan keinginannya. Pekerjaan yang dilakukan seakan bagian dari rutinitas, karena yang dikerjakan ya itu-itu saja, tidak ada value added yang diperoleh. Ditambah kondisi lingkungan kerjanya yang tidak mengakomodasi kreativias dan inovasi. Agus merasa memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan dengan beban perkerjaan yang dihadapinya saat ini. Ketika mau berangkat ke kantor pagi hari, perasaan malas sudah mulai menghinggapi. Ketika sampai di kantor, melihat berkas yang menumpuk rasa malasnya makin bertambah. Dia hanya menunggu, kapan ya sore akan datang sehingga bisa lekas pulang. Belum lagi berpikir, mau keluar dari tempat kerja yang sekarang, susah juga karena khawatir betapa susahnya mencari pekerjaan untuk saat ini.
Apa yang dialami Agus cukup manusiawi. Namun sebagai manusia yang beragama tentu kita harus bisa mengatasinya. Ada beberapa hal yang perlu kita lakukan. Pertama, kita harus bersyukur kepada Allah SWT. Loh, memangnya apa hubungan ketidakberdayaan dengan bersyukur? Nah, dalam hal ini kita perlu bersyukur karena kita masih punya pekerjaan yang bisa digunakan untuk menafkahi keluarga, apapun pekerjaaannya yang penting halal. Coba bayangkan banyak saudara-saudara kita yang menganggur, pagi-pagi sekali saudara-saudara kita yang jadi pemulung sudah berusaha mencari rezeki di kala kita masih belum sepenuhnya tersadar dari tidur kita. Atau bahkan pak tani yang segera bersiap meluncur ke sawah sebelum matahari terbit. Di samping itu, dengan bersyukur Insya Allah rezeki makin bertambah. Seperti yang difirmankan oleh Allah,”Apabila kamu bersyukur maka Kami akan tambahkan nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, sungguh azab-Ku sangat pedih.
Hal kedua yang bisa kita lakukan yakni mencari tahu penyebab ketidakberdayaan tersebut. Apakah memang pekerjaan rutin yang membosankan? Apakah lingkungan dan budaya kerja di kantor yang kurang kondusif? Dalam situasi ini yang dapat kita lakukan hanya merubah faktor internal diri kita. Sementara faktor eksternal adalah faktor x yang menjadi variabel uncontrol. Cobalah, kita nikmati pekerjaan kita dengan cara melakukan proses yang berbeda. tak perlu takut dengan rekan kerja kita hanya karena cara kita berbeda. Yang penting outputnya bagus dan proses tetap dilakukan secara benar. Pagi hari ketika sampai di kantor, kita buat ceklist terkait dengan target apa yang akan kita selesaikan pada hari tersebut. Sore hari ketika mau pulang, evaluasi berapa persen target yang tercapai. Buat daftar pendingan untuk hari berikutnya. Jangan lupa untuk menambah satu pengetahuan baru terkait dengan pekerjaan kita.
Ketiga, kembangkan terus hobi kita sehingga kita tidak hanya terfokus pada pekerjaan. Syukur-syukur hobi bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan secara ekonomis. Kalau pun tidak, ya gak masalah. Keempat, jangan segan-segan untuk membuat keputusan besar dalam hidup setelah melakukan analisis yang cukup mendalam. Kalau memang di tempat kerja sudah tidak ada harapan untuk lebih baik, segera pertimbangkan untuk keluar dari tempat tersebut. Namun sebelumnya kita harus sudah siap dengan langkah berikutnya yang akan ditempuh. Misalnya ada tawaran dari tenpat kerja lain atau bahkan memtuskan untuk mandiri menjadi wirausaha. Bukan pilihan yang salah, asalkan sudah kita putuskan dengan matang. Dengan demikian, maka waktu kita tidak akan habis hanya untuk menggerutu dan menyesalai nasib. Seperti yang dikatakan oleh Bunda Theresa, jangan hanya menggerutui kegelapan, tapi cobalah untuk menyalakan lilin. Mudah-mudahan bermanfaat.

Melongok Kampung Betakan Sebagai Sentral Budidaya Gurameh

on Sunday, October 24, 2010



Betakan, sebuah kampung yang berlokasi di Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, makin menunjukkan daya tarik bagi warganya untuk berkecimpung dalam usaha budidaya ikan gurameh. Kampung ini terletak di 7.77306‘ LS dan 110.25373‘ BT, dengan jarak 16 km dari pusat kota Jogjakarta. Terdiri atas 519 warga dengan 120 kepala keluarga. Bisa dikatakan hampir 50% warganya memiliki kolam ikan gurameh. Kolam-kolam tersebut tersebar di kawasan timur kampung Betakan terbentang dari ujung utara sampai ujung selatan sekitar 1,3 km. Budidaya gurameh bisa dianggap cukup menguntungkan mengingat harga jualnya yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan jenis ikan air tawar lainnya. Harga di tingkat petani mencapai Rp22.000,00 – Rp25.000,00. Selain pemeliharaannya yang lebih mudah, juga pemasarannya yang lebih menjanjikan.

Sudah cukup lama, warga Betakan berprofesi sebagai peternak ikan. Tidak hanya sebagai usaha sambilan, bahkan ada beberapa warga yang menjadikan usaha budidaya gurameh tersebut sebagai mata pencaharian pokok. Tidak hanya dari generasi tua, namun anak-anak muda juga aktif terlibat di dalamnya. Bahkan boleh dikatakan, anak mudanya yang terus berkreasi untuk terus mengembangkan usaha ini. Untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan berbagi informasi, peternak tergabung dalam satu kelompok paguyuban perikanan mina tani. Di samping itu, terdapat kelompok paguyuban 45 yang juga ikut aktif mengembangkan jiwa wirausaha anak muda yang salah satunya berkaitan dengan budi daya gurameh.
Peternak gurameh terdiri atas 3 kelompok fokus. Pertama, fokus di usaha pembibitan yang meliputi penyediaan induk, pemijahan dan pendederan.Diperlukan kolam khusus untuk menampung indukan dengan perbandingan 1 jantan 4 betina. Telur gurameh yang telah dibuahi pejantan, kemudian diambil dan ditempatkan dalam kolam khusus sampai dengan menetas. Peternak yang fokus di usaha pembibitan ini salah satunya Mas Among Sugondo. Pria berusia 29 tahun ini memiliki beberapa kolam pembibitan. Pemasarannya tidak hanya di kampung Betakan saja, namun sudah menjangkau sampai keluar Kabupaten Sleman. Jenis indukan yang bagus adalah porselen karena mampu menghasilkan telur sebanyak 10.000 butir dibandingkan dengan jenis lain yang hanya 2.000 – 3.000 butir saja.
Sementara itu, kelompok kedua fokus pada usaha pembesaran. Kelompok inilah yang mendominasi peternak gurameh di Betakan bahkan boleh dikatakan hampir 90%. Mereka rata-rata memiliki 3 kolam per orang. Kolam-kolam tersebut memanjang di kawasan timur kampung. Pada umumnya, kolam dibuat dengan cara menggali tanah area persawahan. Kondisi ini sangat menguntungkan, mengingat kolam jenis ini mengandung humus dan plankton yang sangat berguna bagi ikan gurameh. Ukuran kolam pada umumnya 4 x 6 m, namun ada juga yang lebih besar dengan ukuran 5 x 15 m dengan kedalaman sekitar 1 m. Di samping itu, ada peternak yang memanfaatkan lahan pekarangannya untuk membuat jenis kolam permanen yang terbuat dari semen. Untuk jenis kolam ini membutuhkan biaya pembuatan yang lebih besar, namun memiliki kelebihan antara lain mudah mengganti air kolam, kontrol penyakit yang lebih baik dan lebih mudah saat nanti akan dilakukan pemanenan. Salah satu peternak yang fokus di usaha pembesaran ini adalah Ahmad Sujudi. Mas Judi, begitu sering disapa, sudah menekuni usaha ini lebih dari 10 tahun terakhir ini. Dia juga dikenal dengan berbagai kreasinya untuk melakukan percepatan pembesaran gurameh, meningat ikan jenis ini termasuk lambat pertumbuhannya. Pola yang dikembangkan yakni dengan jenis monokultur, agar gurameh tidak kalah bersaing dengan jenis ikan lain sebagaimana kalau dipeliharan melalui pola polikultur.
Makanan pokok ikan gurame berupa pelet. Namun demikian, kombinasi yang bagus dengan pakan hijauan akan lebih efisien mengingat harga pelet semakin melambung saat ini di atas Rp130.000 ribu setiap 1 sak (30 kg). Hijauan dapat berupa daun-daunan seperti : kangkung, singkong, keladi, pepaya dan genjer. Pada umumnya, peternak di Betakan mengusahakan pakan hijauan dari pematang/tanggul kolam.
Kelompok ketiga terdiri atas pedagang. Kelompok inilah yang nantinya akan membeli ikan gurameh ukuran konsumsi dari para peternak untuk kemudian disalurkan ke beberapa restoran dan warung makan di Jogja. Untuk terjun di kelompok ini biasanya membutuhkan kekuatan finansial dan jaringan yang luas sehingga hanya ada 2-3 orang saja di Betakan.
Kemajuan budidaya ikan gurameh di Betakan juga tidak terlepas dari peran pemerintah melalui petugas penyuluh lapangan (PPL). Bapak Parimin, yang biasa dipanggil oleh kalangan anak muda Betakan dengan sapaan si Om, begitu bersemangat untuk memanjukan perikanan gurameh di Betakan khususnya. Bahkan si Om ini tidak hanya bersemangat memberikan penyuluhan, namun juga mempraktekkan langsung.
Keharmonisan antara kelompok pembibitan-pembesaran dan pedagang inilah yang menjadikan Betakan cukup dinamis dalam budidaya ikan gurameh. 




Perspektif Kang Ebud

on Wednesday, October 20, 2010



Manusia tidak saja mempertanggungjawabkan berbagai peran yang diembannya selama ini di antara sesama manusia, namun jauh lebih besar untuk mempertanggungjawabkan dirinya kepada Allah. Manusia memiliki derajat yang tinggi karena ia adalah khalifah di muka bumi ini. Namun dalam banyak hal, manusia terjebak sendiri dalam berbagai peran antara yang satu dengan yang lain, bahkan tak jarang berseberangan dalam satu dimensi waktu. Saat tertentu, ia berperan sebagai seorang pemimpin keluarga yang harus menafkahi keluarganya, namun pada saat yang bersamaan yang bersangkutan juga berperan sebagai tikus negara. Akhirnya, muncullah kebohongan demi  menutup kebohongan yang lain yang dalam dimensi sosiologis digambarkan sebagai manusia yang kehilangan jati diri dari dalam satu masyarakat.
Manusia hidup dalam satu tatanan nilai yang memang sudah tersruktur dalam masyarakat. Tatanan nilai tersebut menjadi seperangkat acuan yang tergabung dalam norma keagamaan serta hukum untuk berperilaku. Seperti dikatakan oleh Ignas Kleiden bahwa pengertian kita tentang manusia tak pernah benar-benar terang benderang bagaikan siang hari bolong, tetapi selalu dalam kawasan remang-remang. Oleh karena itu, menulis tentang manusia sesungguhnya adalah mencoba-coba untuk memahami manusia dengan segala aspeknya.
Dengan dasar di atas, Perspektif Kang Ebud mencoba hadir untuk berbicara tentang kemanusian dalam beberapa perspektif. Bukan atas dasar karena merasa tahu segala hal, melainkan secuil cermin yang kiranya bisa sama-sama memperkaya perspektif dan pengetahuan kita. Membaca Perspektif Kang Ebud sebagaimana membaca tentang diri kita sendiri dan bercermin atas diri kita sehingga kita bisa menertawakan diri sendiri tanpa terbebani untuk berbuat dholim kepada orang lain. Selain itu, juga berarti membaca antara mimpi-mpimpi dan kenyataan. Dalam bahasa Sosiologis, dikatakan sebagai das sollen (normatif) dan das sein (fakta). Kedua hal itu akan terus duduk berimpitan, menyatu, berdampingan bahkan dalam satu titik tertentu  berseberangan sebagaimana tergambar dalam contoh peran di atas. Oleh karena itu, hati nurani menjadi kunci penting untuk membantu jiwa manusia dalam merajut hidup ini. Seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa dalam tubuh manusia ada sekerat daging. Jika daging itu baik, maka baiklah ia. Tapi bila buruk, buruklah ia. Ketahuilah bahwa sekerat dagung tersebut adalah hati.
Mencuplik “The Alchemist” karya Paulo Coelho dalam salah satu percakapan antara sang alkemis dan si anak. “Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?”, tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada satu hari. “Sebab di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada”, jawab sang Alkemis. Kekayaan hati sulit diukur. Bila manusia benar-benar mempercayai hatinya, melakukan sesuatu sesuai dengan hatinya, menyatunya pikiran dan hati dalam satu tuindakan, betapa manusia akan hidup dalam kebahagiaan.
Gambaran dan fenomona tentang rajutan banyak khayal dan imajinasi tentang kehidupan itulah yang coba dihadirkan dalam perspektif Kang Ebud. 










Aspek Keuangan Budidaya Sapi

on Saturday, October 16, 2010



Budidaya sapi masih dianggap sebagai usaha sampingan yang diusahakan dalam skala kecil yang berjalan apa adanya. Bagi sebagian besar peternak, ketika mereka berhasil menjual seekor sapi dengan harga Rp9 juta  dianggap sudah untung besar. Benarkah hal tersebut? Lalu bagaimana kita bisa membuat peternak memiliki posisi tawar yang lebih besar sehingga dapat hidup secara lebih layak?
Memelihara sapi yang biasa dilakukan saat ini mengacu pada pola tradisi nenek moyang yang telah berurat akar di masyarakat. Walhasil, sebagian peternak muda juga mengikuti ajaran nenek moyang tersebut. Apakah ini salah? Tidak ada yang salah. Hanya saja, zaman terus berkembang dan kita diberikan karunia oleh Allah untuk berpikir lebih baik. Di samping itu, kesempatan yang ada juga jauh lebih besar dibandingkan dengan nenek moyang kita dulu.
Tatkala ada peternak, sebut saja Mas Karyo yang berhasil menjual sapi PO dengan harga Rp9 juta. Mas Karyo mengantongi uang yang begitu besar untuk ukuran kebanyakan kita hanya dalam satu waktu. Ibarat menabung di celengan tanah liat, berhamburanlah uang Rp9 juta tersebut setelah hari demi hari di isi dengan mencari rumput, memberi pakan konsentrat, membeli ampas tahu dan lain sebagainya. Namun benarkah keuntungan yang didapat sebesar itu? Mari kita lihat. Sapi tersebut dipelihara selama 20 bulan dengan asumsi dipelihara dari pembibitan sendiri. Kalau dikalkulasi maka setiap bulan pendapatan kotornya sebesar Rp400 ribu atau Rp13 ribu per hari. Angka tersebut termasuk besar bila sudah netto. Namun Mas Karyo belum melakukan perhitungan biaya secara lebih detil termasuk keringat yang diperasnya tiap hari untuk mencari pakan, pembelian konsentrat, katul, garam dan lainnya. Biaya pakan misalnya per hari Rp3.000,00 ditambah dengan tenaga kerja Rp8.000,00. Praktis dalam sehari keuntungannya hanya berkisar Rp2.000,00 atau sebulan hanya Rp60 ribu.
Lalu bagaimana kita memecahkan masalah seperti ini. Kita bisa melakukan perbaikan melalui beberapa langkah. Pertama, kelemahan usaha ternak yang dijalankan secara tradisional adalah tidak adanya pencatatan pengeluaran dan pemasukan uang, sehingga kita mengalami kesulitan apakah usaha tersebut menguntungkan atau tidak. Pencatatan tersebut berlaku tidak hanya untuk usaha besar namun usaha kecil juga perlu dilakukan. Pencatatan ini tidak membutuhkan jurnal akuntansi yang rumit dan pelik. Cukup catat harga beli berapa dan biaya yang dikeluarkan selama pemeliharaan termasuk waktu pembeliannya. Kedua, menyusun rencana cash flow. Jangan sampai saat memelihara sapi bakalan berjalan, kita sudah kesulitan likuiditas keuangan karena terpakai untuk yang lain atau karena tidak adanya rencana keuangan sejak dari awal. Ketiga,lakukan pemisahan keuangan antara budidaya sapi dengan keuangan pribadi. Kita analogikan seperti mendirikan perusahaan dalam bentuk perseroan terbatas, sehingga nantinya tidak bercampur antara uang hasil usaha dengan uang pribadi. Pada akhirnya, kita harus menghitung keuntungan bersih dari usaha ini dengan analogi pembagian deviden pada PT. Pembagian deviden tersebut yang akan menjadi tambahan dalam keuangan pribadi, atau akan lebih baik bila diakumulasikan kembali dalam bentuk penambahan modal. Konsekwensinya, kita harus bisa menggaji diri kita terlebih dahulu termasuk bila memerlukan tenaga kerja lain. Tak masalah pemilik sekaligus  pekerja di tempat usaha kita. Keempat, menggunakan faktor kali. Kalau hanya memelihara 1 atau 2 ekor, maka keuntungannya relatif kecil, namun bila kapasitasnya sekitar 10 ekor maka faktor kali lebih besar. Dari sisi fix cost tidak banyak berpengaruh, yang perlu dipertimbangkan dari sisi variabel costnya. Kelima, buat strategi dengan mencari ceruk pasar yang jelas dan fokus. Kita ambil contoh, dengan mempertimbangkan cost yang lebih rendah dan tingkat permintaan yang tinggi, maka bisa saja fokus ke pembibitan. Hitung-hitungan kalau kita memelihara 12 induk sapi, maka setiap bulan bisa menjual anak sapi dengan harga kurang lebih Rp5-6 juta (asumsi sapi jenis limosin atau metal). Asumsi fix cost dan variabel cost sebesar 30%, maka keuntungan dalam bulan berjalan Rp3,5-4,2 juta. Untuk lingkup pedesaan sudah terhitung sangat bagus. Keenam, kembangkan terus pengetahuan kita dan berani mencoba. Tak perlu takut untuk dibilang berbeda dengan yang lain atau dianggap aneh, sepanjang memang kita yakin. Kita tak bisa meyakini sampai berhasil mencobanya.
Akhirnya, kunci dari itu semua yakni berani memulai dan bertindak. Dengan model seperti ini kita akan memiliki daya tawar yang lebih tinggi. Mari bangkitkan ekonomi kerakyatan dan agrobisnis dari diri kita.


Tentukan Naskah Kehidupan Kita

on Thursday, October 14, 2010


Beranjak dari Hadits Nabi Muhammad SAW “ kerjakanlah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya dan kerjakanlah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok” maka kita memandang kehidupan ini dengan lebih sempurna. Banyak di antara kita yang memberikan makna bahwa dunia dan akhirat adalah dua kehidupan yang berbeda, atau bahkan malah tidak percaya dengan kehidupan akhirat. Di titik inilah kita harus berani mengejawantahkan bahwa dunia dan akhirat saling terkait.

Perjalanan kehidupan manusia dimulai dengan ditiupkannya roh ke dalam bayi yang berada dalam kandungan. Pada saat bayi dilahirkan, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa setiap anak yang lahir dalam keadaan suci. Dalam teori psikologi dikatakan sebagai tabularasa, yakni kertas putih yang siap untuk diberi gambar dan warna oleh orang tua. Namun perlu diingat, bahwa warna dan gambar tersebut hanya sebagai dasar-dasar pembentukan kejiwaan di awal perkembangan kehidupan yang tentunya menjadi bekal buat dirinya dalam meniti kehidupannya kelak. Berikutnya, si anak itu sendirilah yang akan membentuk wujud dan masa depannya.
Segala sesuatu yang menyangkut diri kita sudah ditentukan oleh Allah sebagaimana yang termaktub dalam lauh mahfuz. Qodha dan Qadar merupakan hak prerogatif dari Allah. Namun dalam kaitan ini, Allah masih memberikan keleluasaan untuk melakukan ikhtiar terhadap hidup kita. Kesalahan kita, kadang kita memaknai hidup seperti air mengalir apa adanya karena semuanya sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Kepasrahan seperti inilah yang menjadikan kita lemah. Kepasrahan haruslah mencul setelah segala daya upaya kita lakukan (tawakkal).
Di sisi lain, kadang kita menyerahkan kehidupan kita kepada orang lain. Mengapa demikian? Tak lain karena kita tidak punya skenario dan naskah atas kehidupan atas ini. Akhirnya, orang lainlah yang membuatkan naskah untuk kita. Kita sekedar menjadi pemerannya. Benar dalam konteks luas bahwa kita menjalankan peran yang telah diberikan oleh Allah. Namun demikian, perlu diingat sebagaimana disampaikan di awal bahwa di sana masih ada ruang untuk berkreasi yang merupakan bagian dari ikhtiar. Kondisi makin parah tatkala kita sendiri merasa tidak dibuatkan naskah oleh orang lain, namun senyatanya kita hidup dalam bayang-bayang dan genggamannya. Seakan tidak ada ruang gerak. Masalah ini bisa muncul karena kita tidak tahu dan tidak mau tahu.
Perlunya naskah kehidupan dapat dipandang dalam beberapa hal. Pertama, naskah kehidupan menunjukkan tujuan yang jelas atas kehidupan, baik dunia maupun akhirat. Tanpa tujuan yang jelas, ibarat sebuah perjalanan kita tidak tahu arah yang dituju dan akhirnya kita hanya sampai ke titik yang tidak jelas atau bahkan malah hanya berada di titik semula diam tak bergerak. Selain itu, dengan tujuan yang jelas, kita akan fokus. Menyambung analogi perjalanan tadi, maka ketika arah yang dituju sudah jelas maka ketika ada titik-titik persimpangan jalan, kita sudah bisa menentukan jalan mana yang harus dipilih dan dilalui. Kedua, naskah kehidupan yang jelas, akan membantu kita untuk membuat strategi yang jelas pula untuk mencapainya. Strategi untuk tiap orang berbeda walaupun tujuan sama. Dalam hal inilah, keunikan tiap individu turut berperan menyesuaikan dengan kemampuan dan sumber daya yang ada. Ketiga, naskah kehidupan menunjukkan eksistensi atas kemanusiaan kita sehingga orang lain tidak seenaknya “mendikte dan membuatkan naskah”. Keempat, naskah kehidupan sebagai tanda syukur kepada Allah agar kehidupan kita menjadi lebih bermakna sebagai khalifah di muka bumi ini. Minimal makna buat diri dan keluarga kita. Harapannya tentu bisa bermanfaat kepada  masyarakat, sehingga tidak menjadi sampah  masyarakat.
Untuk itulah, selagi umur masih muda, bersyukurlah bila sudah memiliki naskah atas kehidupan kita. Bila belum, saatnya kita buat naskah tersebut dengan semangat untuk hidup dunia dan akhirat. Semangat ini sebagai penjabaran bahwa kita harus berusaha lebih baik seakan kita akan hidup selamanya, namun di sisi lain kita ingat dengan akhirat karena kita tidak tahu sampai kapan kita ada di muka bumi ini. Untuk itulah, modal yang bisa kita lakukan dengan menanam benih-benih kebajikan. Bahkan andai besok kita tahu besok kiamat akan datang, kita masih tetap diminta untuk menanam benih. Masa lalu yang kelam bukanlah halangan untuk kita tenggelam, namun kita jadikan semangat untuk lebih memperbaiki diri dengan mengambil hikmah.

Budidaya Sapi Sebagai Jembatan Masa Depan?

on Sunday, October 10, 2010


Masih terngiang dalam ingatan saya perkataan dari teman beberapa waktu yang lalu, kok sarjana memelihara sapi sih? Ngapain harus kuliah di fakultas ekonomi, kalau akhirnya berkutat dengan sapi? Apa gak sayang? Memang bisa kaya dari peternakan sapi? Pertanyaan yang menohok dan mendasar, di luar konteks sebuah canda atau nada serius. Justru dengan pertanyaan tadi, semakin memotivasi saya untuk bisa mewujudkan impian tersebut, walaupun saya sadar dan yakin, tak gampang memang mewujudkannya. Namun kita tak boleh berhenti dan patah arang begitu saja. Lha wong anjing menggonggong, kafilah berlalu...he..he... Ya sudahlah, yang penting kita berusaha dulu dengan target yang terukur, hasilnya diserahkan sepenuhnya sama yang di atas.
Sebelum kita fokus mewujudkan impian budidaya sapi yang sukses, ada beberapa hal yang perlu kita cermati sebelumnya. Mungkin kita belum sampai ke hal-hal yang sifatnya teknis, namun melihat dari sisi globalnya (istilah orang baratnya sih helikopter view).
Kalau kita merunut dari sisi sejarah, apalagi di Indonesia, kebanyakan peternak sapi masih belum menguntungkan. Hal ini terkait dengan kultur kita bahwa beternak sapi adalah tabungan kalau nantinya dibutuhkan sewaktu-waktu bisa dijual, daripada nanti harus senggol kanan-senggol kiri untuk mencari hutangan. Bila dihubungkan dengan teori investasi, maka sebenarnya tabungan bukan termasuk dalam kerangka untuk mencari keuntungan mengingat kecilnya return yang didapat. Oleh karenanya, bila beternak sapi hanya untuk tujuan itu, rasanya kita juga masih belum bisa beranjak dari pandangan ini.
Sebagian besar masyarakat peternak sapi di Indonesia, mengusahakan ternak sapi hanya untuk sambilan. Pada umumnya, pekerjaan pokoknya adalah petani. Konsekwensinya, skala usaha yang dilakukan juga kecil, biasanya hanya berkisar 1-4 ekor. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka mencari pakan sekaligus saat pergi ke sawah. Ibarat pepatah, yah sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui.
Di luar dua konteks tersebut, hal yang sangat berpengaruh adalah manajemen budidaya itu sendiri karena masih dilakukan secara konvensional. Manajemen pakan salah satunya, hanya menggantungkan pada pakan hijuan. Itu pun belum tentu tercukupi semuanya. Bahkan pada umumnya hanya mengandalkan jerami kering yang dari sisi kandungan gizi kurang mencukupi untuk pertumbuhan ternak itu sendiri. Memang dalam budi daya sapi, 60% ditentukan oleh pakan. Oleh karena itu, kita harus mampu mengusahakan lahan hijauan yang mencukupi (sekiranya memungkinkan) atau bisa juga membeli di pasaran dengan konsekwensi cost of fund nya jauh lebih besar. Pakan hijauan yang diusahakan bisa dalam bentuk rumput kolonjono, rumput gajahan, tebon (batang jagung) maupun king grass (seratnya lebih kasar). Pakan hijauan saja belum cukup, karena kita masih harus mengusahakannya dengan pakan tambahan dalam bentuk konsentrat, baik yang beli dari pabrikan maupun dari rumahan. Yang dari pabrikan ada beberapa yang bagus, tetapi tak kalah baiknya kita mengambil dari sisa industri rumah tangga dalam bentuk ampas tahu.
Setelah mencoba flash back budi daya betenak sapi kita pada masa tersebut yang sebagian besar memang diusahakan oleh orang tua kita, bapak dan kakek kita, saya menjadi semakin termotivasi untuk nyemplung ke dalamnya. Masih terngiang juga dalam pikiran ini, perkataan Pak Siswono Yudo Husodo (beliau memiliki beberapa usaha peternakan sapi yang cukup besar), peternak sapi kita jangan hanya memelihara sapi dalam skala kecil di bawah 10 ekor. Bila kita ingin mendapatkan imbalan secara ekonomis, maka peliharalah dalam jumlah skala cukup besar dengan tetap mengedepankan prinsip manajemen modern. Kita bisa mengaca ke Australia, yang memiliki jumlah sapi lebih besar daripada jumlah penduduknya.
Peluang budi daya sapi juga masih cukup bagus, mengingat sampai dengan saat ini kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap  daging sapi cenderung meningkat. Sementara itu, dari jumlah sapi masih belum bisa tercukupi oleh Indonesia sendiri yang konsekwensinya masih harus impor kurang lebih 500.000 ekor per tahun. Sungguh ironis memang, bangsa dan negara yang bertumpu pada sektor pertanian dan peternakan ini masih harus mengais-ngais sapi ke negeri orang. Mungkin kita masih mafhum, seandainya yang kita impor adalah sapi bakalan.
Oleh karena itu, saatnya anak muda bergerak untuk mewujudkan peternakan sapi yang modern. Tak pandang bulu, lulusan SD, SMP, SMA bahkan sarjana tidak ada masalah. Tak perlu lagi ada keraguan seorang sarjana, misalnya yang harus berkotor-kotor ria bergelut dengan sapi.




Cattle Raising Profitable?

on Friday, October 8, 2010


Life is a relativity to achieve something better. Thus even with us in our efforts to achieve their dreams and future baik.Upaya directed to the point that despite the challenges facing sometimes come without permission was not even invited. As human beings must work to support themselves and social, is in point of the necessity to develop what we have. Entrepreneurship is one viable way to go.
On the day that's happy, I settled on two bulls brahman and metal to be maintained in the village. The village is actually beautiful and rich human resource potential and natural resources, but mismanagement is only mastered by a handful of people. Poverty no doubt be made self-winding who sometimes despair. A beautiful village in Sleman, Yogyakarta Moyudan area where I grew up and pursue a life as human beings. Armed with two cows that are kept by the uncle, hoping to restore confidence to be human independence. The purchase price of the two 14 million.   I am determined to make it as a starting point to change the family economy. Therefore, it must be ensured that the management and maintenance should be properly addressed.
In terms of micro memeliharaan cow, actually not too difficult. Feed concentrate as the main ingredient should be available fairly, in addition of course feed kolonjono or elephant grass forage. Sometimes also interspersed with corn stalks that are rich in sugars that will further accelerate the growth of cattle. One month, two months passed until five months finally passed.Growth pretty good cow and increased quite dramatically. From the beginning, my aim was that the cow had been sold in the maintenance of a maximum of 4-5 months. We try to offer cows to some traders, the price was not so good. Both were only offered 17 million. Prices are so low in terms of quality but good beef. Finally, we pause for sale. Apparently from time to time, the relative price does not rise even in fact there is a tendency to go down. Teru worried about declining prices, finally a month later dijuallah tesebut cows with 17.5 million price.

Not the people who do not learn if we only regret and mourn what happened. Trace on the logic of Pica (Plan, Identification and Corective Action) I finally made a fundamental change in the maintenance of cattle. The focus is no longer in business enlargement, but to the nursery. I dropped the option to maintain broodstock in a luxurious limousine. Alhamdulillah, the two are already given birth parent of all and is now pregnant again. Tillers limousine is, targeted to be sold a maximum of 6 months of age. In terms of maintenance costs, up to age 6 months is still low. These micro sides made an effort to empower themselves.
Indeed the macro, if we consider, really sad at all with this condition. I am sure, would condition ranchers and farmers in Indonesia are mostly not moved from cattle rearing is merely a sideline and is considered as the savings alone. Meanwhile, government favoritism towards this sector is still small and deemed not profitable political kalkukalasi. Agriculture Minister had not succeeded in making policies that lead to this sector becomes dominant sector although the government has sapai self-sufficiency target in 2014. Pad a thing we know, that Indonesia could manage this sector as a competitive advantage. But what is meretricious. Each year, we are still importing 500 thousand ox tail, rice is also imported. The fate of farmers and ranchers is one-sided.When will this be passed. Governments should be fully involved to regulate the sector, including the mechanisms and policies. - Eka Budi Kurniawan.